IniDia Ikrar Marpadan Naipospos (Marbun) Untuk Tidak Saling Menikah Dengan Keturunan Sihotang. Dalam ada Batak ada suatu kondisi khusus dimana hubungan marga tertentu dengan marga lainnya dilarang untuk saling menikah satu sama lain walaupun mereka bukan dari satu rumpun persaudaraan dan paradaton, hal ini biasanya terjadi karena adanya - Marga Sinaga merupakan salah satu dari sekian banyak marga yang ada si Sumatra Utara. Adapun marga ini dipercaya sebagai salah satu marga yang paling tua di dalam suku Batak. Hingga saat ini marga Sinaga telah menghiasai panggung nasional, mulai dari seniman, politisi, hingga Sinaga Marga Sinaga merupakan generasi kelima keturunan Si Raja Batak. Konon Si Raja Batak melahirkan Guru Tateabulan. Kemudian Guru Tateabulan melahirkan Tuan Sariburaja. Tuan Sariburaja lalu melahirkan Raja Lontung. Raja Lontung memiliki sembilan anak yang terdiri dari 7 laki-laki dan 2 perempuan atau boru. Mereka adalah Toga Sinaga, Toga Situmorang, Toga Pandiangan, Toga Nainggolan, Toga Simatupang, Toga Aritonang, Toga Siregar, Siboru Amak Pandan, dan Siboru Panggabean. Adapun keturunan Lontung ini mayoritas tinggal di Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba. Setelah itu banyak keturunan Lontung yang menyebar ke seluruh Tanah Batak. Setelah dewasa, Toga Situmorang mendahului Toga Sinaga menikah. Toga Situmorang menikah dengan Boru Limbong, sementara adik Boru Limbong dinikahi oleh Toga Sinaga memiliki 3 anak laki-laki, yakni Raja Bonor Sinaga Bonor, Raja Ompu Ratus Sinaga Ratus, dan Raja Hasugian Sinaga Uruk. Masing-masing mereka memiliki tiga anak laki-laki. Raja Bonor melahirkan Raja Pande, Tiang Ditonga, dan Suhutnihuta. Si Raja Ratus memperanak Ratus Nagodang, Si Tinggi, dan Si Ongko. Sementara Raja Uruk beranakkan Sihatahutan, Barita Raja, dan Datu Hurung. Hingga saat ini semua keturunan Toga Sinaga tetap memakai marga Sinaga. Berbeda dengan enam saudaranya yang telah berkembang menjadi beberapa marga. Keturunan Toga Sinaga terhimpun dalam ikatan yang bernama Parsadaan Pomparan Toga Sinaga Dohot Boruna PPTSB. Persatuan Sinaga ini ada di tingkat kecamatan hingga tingkat nasional. Bahkan PPTSB ini membangun tugu Toga Sinaga pada tahun 1966 dan diresmikan pada Juni 1970. Adapun letak tugu Toga Sinaga ini berada di Desa Urat, Samosir. Referensi Simanjuntak, Batara Sangti. 1978. Sejarah Batak. Medan K. Sianipar Company. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
\n \n\n \nmarga sinaga tidak boleh menikah dengan marga
ParsadaanPomparan Toga Sinaga Boru-Bere (PPTSB) Marga SINAGA sebagai salah satu keturunan dari raja BATAK tumbuh dan berkembang sesuai dengan falsafah hidup yg dimilikinya yaitu : SIDAPOT SOLUP DO NARO (DI MANA TANAH DI PIJAK, DISITU LANGIT DIJUNJUNG). Dalam kultur Pomparan Toga Sinaga melekat suatu ungkapan yg berbunyi : PARHATIAN SIBOLA TIMBANG PARNIANGGALA SIBOLA TALI, TU GINJANG SO
Foto bertahun 1894, sebuah keluarga besar Batak Toba Orang Batak mempercayai mereka berasal dari Si Raja Batak di Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Si Raja Batak mempunyai dua anak, Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Versi lainnya menyebut sesungguhnya Si Raja Batak punya tiga anak, satu lagi yang paling bungsu bernama Toga Laut. Namun Toga Laut disebut mengembara ke arah utara menuju Aceh dan tidak pernah kembali di masa Sorimangaraja berinisiatif mendamaikan masalah perkawinan sumbang ini dan mengambil beberapa keputusan yang menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarangMengutip buku "Tarombo Marga ni Suku Batak" karangan W. Hutagalung 1991, dari istrinya bernama Si Boru Baso Burning, Guru Tatea Bulan mempunyai sembilan orang anak, lima laki-laki dan empat perempuan. Lima laki-laki yakni Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja, dan Malauraja. Empat perempuan yakni Si Boru Pareme, Si Boru Anting Sabungan, Boru Biding Laut, dan Boru Raja Isumbaon mempunyai tiga orang anak yaitu Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomaling. Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkawinan incest atau perkawinan sedarah antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya Si Boru Pareme. Dalam cerita yang berkembang, Tuan Sariburaja dan Si Boru Pareme sebenarnya lahir marporhas lahir kembar dengan jenis kelamin yang berbeda. Foto bertahun 1910-1930, perkampungan Batak TobaSi Boru Pareme hamil dan itu membuat murka saudara-saudaranya yang lain. Hal itu yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya. Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil. Si Boru Pareme pun juga dibuang ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Juga Kisah Babiat Sitelpang, Legenda Harimau yang Menjadi Ompung Bagi Orang BatakDalam pengembaraan, Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Si Raja Lontung kemudian mengawini ibunya sendiri, Si Boru Pareme. Mengutip dari buku “Kamus Budaya Batak Toba” karangan Marbun dan Hutapea, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 1987, Si Raja Lontung mempunyai tujuh putra dan dua putri. Ketujuh putra itu yakni Sinaga Raja, Tuan Situmorang, Pandiangan, Toga Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar. Dua putri yakni Si Boru Anakpandan yang menikah dengan marga Sihombing dan Si Boru Panggabean yang menikah dengan semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah sembilan orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina, Pasia Boruna Sihombing mengutip buku W. Hutagalung, kemudian terjadi friksi antara keturunan Si Raja Lontung dan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja kontra keturunan Si Raja ini kemudian terus berlanjut dimana keturunan Si Raja Borbor tidak mau memanggil "abang" kepada keturunan Raja Lontung. Aliansi keturunan Raja Borbor malah menggunakan panggilan "amangboru" bukan "abang".Baca Juga Sibiangsa, Ritual dan Senjata Mengerikan dari Tanah BatakDengan terjadinya perkawinan incest atau kawin sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "boru".Lalu muncullah Tuan Sorimangaraja, putra dari Raja Isumbaon yang berinisiatif mendamaikan masalah perkawinan sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai Tuan Sorimangaraja adalah 1. Bahwa sesuatu masalah dapat dipecahkan dalam musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu, dan Tuan Bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenankan terjadi dalam keturunan Si Raja Bahwa segala "horja" dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya. Foto bertahun 1894, anak-anak di depan rumahKeputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Juga Foto-foto Nenek Moyang Orang BatakPada perkembangannya sampai saat ini, keturunan Tuan Sorimangaraja-lah yang paling ketat menjalankan aturan bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu. Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga istri yakni1. Si Boru Anting Malela alias Si Boru Anting Sabungan atau Nai Si Boru Biding laut atau Nai Si Boru Sanggul Haomasan alias Nai pertama Nai Ambaton melahirkan putra pertama bernama Tuan Sorba Dijulu alias Ompu Raja Nabolon. Ompu Raja Nabolon kemudian digelari Nai Ambaton, menurut nama ibunya. Sampai sekarang semua keturunannya dinyatakan sebagai keturunan Nai Ambaton atau Parna Parsadaan nai Ambaton.Ompu Raja Nabolon mempunyai empat orang anak yakni Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munte Tua. Versi lain menyebut anak Ompu Raja Nabolon ada 5 dengan tambahan Nahampun keturunan Nai Ambaton sudah terdiri dari berpuluh-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut generasi, mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang dibuat Tuan Sorimangaraja yang melarang perkawinan antar sesama saudara. []
Hukumanmati tidak jadi dilaksanakan, tetapi Marga Siregar tidak boleh tinggal di Lottung lagi.Dengan perahu Simatupang, Marga Siregar mendarat di Toba. Marga Siregar di Toba Marga Siregar kemudian tinggal di Sigumpar, dekat kampung Marga Simatupang dan menikahi gadis-gadis Simatupang. Sebagian eksodus ke Muara Diposting Pada Kamis, 17 Juni 2010 TAK BOLEH MENIKAH SATU MARGASURYA ELFIZA,JambiMENURUT tradisi Warga Tionghoa tidak boleh menikah dengan pasangan yang berasal dari satu marga. Jika pernikahan terjadi, dikhawatirkan anak hasil pernikahan akan mengalami kebodohan atau lemah dalam berpikir". Satu marga dianggap merupakan satu keluarga dan satu darah. Maka mereka tidak boleh menikah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," ujar Johan Taswin, Sekretis Majlis Agama Konghucu Indonesia Makin Jambi.\tHanya saja, saat zaman semakin berkembang, tidak banyak warga Tionghoa yang masih memegang tradisi ini. Saat ini, permasalahan marga dan suku tidak lagi menjadi salah satu pertimbangan bagi warga Tionghoa untuk menikah. Apalagi pasangan tersebut sama-sama saling menyukai dan mencintai.\tHanya saja, di Kota Jambi memang tidak banyak orang yang menikah sesama marga. Hal ini dikarenakan mereka masih mengkhawatirkan peraturan dan tradisi nenek moyang." Tentunya ada yang menikah sesama warga, tapi jumlahnya sedikit sekali. Kalaupun ada mungkin keluarga tersebut sudah saling cocok dan anaknya tidak mau dipisahkah lagi. Apalagi saat ini, anak-anak zaman sekarang sudah tidak terlalu menggunakan tradisi ini," bebernya.\tHal yang sama juga diungkapkan oleh Ayah 32 yang, menyatakan bahwa keluarganya masih berpegang teguh pada tradisi dan peraturan tersebut. Ini karena satu marga diibaratkan dengan satu keluarga besar dimana semua anggotanya adalah bersaudara dan tidak boleh memadu kasih. Apalagi jumlah marga yang cukup banyak membuat warga Tionghoa berusaha untuk mencari pasangan diluar marga mereka," Saat ini memang tradisi atau peraturan tersebut tidak banyak yang memperhatikannya. Tapi dari sebagian warga Tionghoa Jambi masih ada yang memegang tradisi tersebut," bebernya.\tLalu, apakah larangan ini ada rujukan ilmiyahnya? Setelah ilmu genetika mulai berkembang, munculah penjelasan lebih ilmiah mengenai hal ini. Ada kromonsom X dan Y yang mengandung sifat-sifat penyakit turunan. Misalnya penyakit hemophilia yang menurun namun tidak dominan.\tSifat penyakit ini terkandung didalam kromosom X yang ada pada lelaki XX dan perempuan XX . Pada Lelaki, kemungkinan mendapat penyakit ini adalah 50% bila apa kromonsom X nya terdapat sifat buruk tersebut. Namun pada wanita biasanya kromosom X yang buruk ditutupi oleh sifat baik yang dominan dari kromosom X lainnya yang sehat. Jadi pada wanita biasanya penyakit ini tidak muncul. \tMasalahnya timbul bila wanita yang membawa sifat buruk namun tidak dominan pada kromosomnya menikah lagi dengan saudaranya sendiri yang membawa ataupun ataupun tidak membawa penyakit tadi. Keturunan mereka di pastikan akan menderita penyakit ini dan akan terus menurun bila perkawinan sedarah terus dilanjutkan. Maka hal ini bisa dijadikan sebagai bahan rujukan mengapa tidak diperlukan menikah dalam satu marga.Dikutip dari Jambi Independent. Perkawinanmarito adalah pernikahan dengan suatu marga yang dianggap sama. Misalnya satu punguan/ kumpulan parna dilarang saling menikah. Punguan parna terdiri dari sekitar 66 marga, jadi ada 66 marga yang dianggap sama dan tidak boleh saling menikah.
Pernikahan atau perkawinan dengan seorang pariban merupakan perjodohan dimana pernikahan antara pengantin wanita yang memiliki marga boru yang sama dengan marga boru ibu dari pengantin pria. Perkawinan pariban dalam adat Batak Toba adalah sah dan dapat dilakukan, karena sah menurut Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Secara umum suku bangsa Batak mempunyai 6 enam sub-suku yaitu Batak Toba, Banyak ditemukan di Pulau Samosir dan sekitar danau Toba. Batak Mandailing, Banyak ditemukan di sekitar Tapanuli Selatan. Batak Angkola, Banyak ditemukan di Angkola dan Sipirok. Batak Karo, Banyak ditemukan di Kabupaten Karo. Batak Simalungun, banyak ditemukan di Kabupaten Simalungun. Batak Pakpak, Banyak ditemukan di Kabupaten Dairi atau Pakpak. Suku Batak sebagai salah satu etnis yang telah lama mendiami wilayah Indonesia, memiliki sistem kepercayaan yang dinamakan Sistem Kepercayaan Adat Batak. Sistem ini terkait dengan sistem garis keturunan ayah atau yang lebih dikenal dengan patrilineal yang memberikan tempat bagi seorang anak laki-laki lebih utama dibandingkan anak perempuan dalam sebuah keluarga. Ini budaya yang sudah mendarah daging bagi orang Batak. Iklan Lahirnya anak laki-laki dalam kehidupan adat Batak memiliki peran penting dalam suatu keluarga. Para wanita selalu mendambakan agar mempunyai iboto anak laki-laki agar kebahagiaannya tidak luntur. Ricardo Renaldi Sinaga mengungkapkan Sistem Hukum Adat dalam suku Batak khususnya Batak Toba, mengatur seluruh peristiwa kehidupan dalam masyarakat. Mulai peristiwa kelahiran, kekeluargaan, persaudaraan, menuntun jalan hidup, perkawinan, dan mengatur hingga peristiwa kematian yang memperoleh porsi pengaturan istimewa dalam adat Batak. Hukum Perkawinan Adat Batak mengenal adat pariban, yakni ,mempelai Pria dan mempelai perempuan mempunyai hubungan keluarga sebagai saudara sepupu kandung berbeda marga. Pafriban banyak dibicarakan karena berhubungan dengan adat, silsilah, dan juga kepribadian dari orang Batak. Masyarakat Batak Toba menganut sistem perkawinan eksogami, yaitu seorang Batak hanya boleh kawin dengan orang di luar marganya. Sistem perkawinan ini tidak boleh dilanggar. Jika seorang Batak melanggar dan melakukan perkawinan dengan yang semarga, orang yang melakukan perkawinan tersebut akan dihukum pemuka-pemuka adat. Bentuk perkawinan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba adalah bentuk perkawinan jujur, karena keluarga pihak laki-laki menyerahkan jujur kepada pihak keluarga perempuan. Di dalam bahasa Batak Toba jujur itu disebut sinamot, biasanya sinamot berupa uang tetapi ada juga berupa barang yang besar atau jumlahnya sesuai dengan kesepakatan para pihak Pariban sebenarnya menjodohkan seorang anak laki-laki dan perempuan pada waktu di dalam kandungan tetapi sekarang kebanyakan orang Batak sudah tidak menjodohkan anak seperti itu, melainkan ketika anak mereka sudah dewasa, para orang tua batak menjodohkan anak mereka pada keluarga mereka sendiri. Namun pada zaman sekarang para orang tua sudah jarang menjodohkan anak-anaknya. Anak-Anak yang sudah dewasa ingin menikah dengan "pariban"-nya sendiri tanpa ada paksaan orang tua. Contoh Pariban Versi Pria Kamu memiliki marga Sinaga dan ibu kamu memiliki marga Ambarita Boru Ambarita. Lalu kamu menemukan perempuan dengan marga Ambarita Boru Ambarita. Tetapi dengan syarat Ibunya perempuan tersebut tidak marga Sinaga Boru Sinaga. Agar kamu bisa menikahi perempuan tersebut. Itulah yang disebut "pariban" yang bisa kamu nikahkan Versi Wanita Kamu memiliki marga Sinaga Boru Sinaga dan ibu kamu memiliki marga Ambarita Boru Ambarita, Lalu kamu menemukan pria dengan marga Situmorang. Dan ibu pria tersebut memiliki marga Nababan Boru Nababan. Itulah yang disebut pariban yang bisa kamu nikahkan, namun jika pria tersebut memiliki marga Ambarita, ia Tersebut tidak bisa kamu nikahkan. Perkawinan suku Batak dikenal perkawinan yang tidak boleh dilaksanakan atau incest semarga. Perkawinan incest dalam adat Batak bisa terjadi apabila pernikahan dilakukan oleh dua orang dengan marga yang sama semarga, perkawinan dilakukan apabila seorang laki-laki memiliki marga yang sama dengan ibu dari seorang perempuan martulang dan perkawinan dilakukan oleh dua orang yang berbeda marga, namun diantara leluhur kedua marga tersebut berkerabat dari sumpah leluhur marsipadan. Pemaknaan perkawinan sedarah dilarang atau tidak diperbolehkan di Indonesia tidak hanya menjadi wilayah aturan hukum yang berlaku dalam Sistem Kepercayaan Adat Batak, melainkan pula secara jelas dan tegas dilarang juga. Sebagaimana diungkapkan dalam Pasal 8 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang "Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya" Perkawinan Pariban adalah perkawinan ideal di dalam kebudayaan adat BatakToba, di mana perkawinan tersebut terjadi antara seorang pemuda dengan putri seorang laki-laki ibunya. Demikian juga bila seorang laki-laki kawin dengan putra saudara perempuan ayah yang dapat disebut sebagai menikahi pariban. Pernikahan atau perkawinan menurut hukum adat pada dasarnya mempunyai perbedaan peraturan dengan ketentuan hukum nasional. Perkawinan pariban menurut adat Batak Toba apabila dilakukan, maka perkawinan pariban tersebut adalah sah menurut hukum adat Batak Toba. Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, di dalam Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 terdapat tentang ketentuan syarat sahnya seseorang yang akan melakukan suatu perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi masyarakat adat Batak Toba melakukan pernikahan pariban dapat dianggap sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing serta perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam tata cara pelaksanaan penerapan suatu peraturan perundang-undangan, mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Perundang - undangan maupun di dalam peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 selain memuat Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 mengenai syarat sahnya perkawinan, terdapat juga Pasal 8 yang di dalamnya memuat mengenai larangan-larangan perkawinan. Merujuk pada isi dari Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1974 Nomor 1, maka perkawinan adat Batak Toba khususnya perkawinan pariban apabila dilakukan akan mengakibatkan perkawinan tersebut sah, karena mengacu kepada Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1 yang mengatur mengenai keabsahan perkawinan pariban di dalam adat Batak Toba. Ikuti tulisan menarik Ricardo Renaldi lainnya di sini.
Horas Agan agan yang marga sinaga, kalau sinaga tidak bisa menikah dengan boru apa ? Yang satu rumpun sama sinaga apa aja ya gan?

403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID NzA8gUboFg2VtDleq_rSuJUywjApdWPyoWRL4J9K46QrV7bCbCtqLw==

Berikutini ada 5 Larangan dalam Perkawinan Adat Batak Toba : 1. Namarpadan. Namarpadan/ padan atau ikrar janji yang sudah ditetapkan oleh marga-marga tertentu, dimana antara laki-laki dan perempuan tidak bisa saling menikah yang padan marga. Misalnya marga-marga berikut ini: Hutabarat dan Silaban Sitio. Manullang dan Panjaitan.
Komplek Tugu Toga Sinaga, Desa Urat II, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Foto PPTSB JAMBI. SINAGA adalah salah satu marga tertua yang ada dalam suku Batak Toba. Asalnya dari Desa Urat, Pulau Samosir namun marga ini umum pula dikenal di Indonesia. Tidak sedikit pula keturunan Sinaga yang hari ini berada di penjuru dunia. Bila dijejaki dari garis leluhur, maka marga Sinaga keturunan Si Raja Batak generasi kelima. Dari Si Raja Batak memperanakkan Guru Tateabulan. Guru Tateabulan memperanakkan Tuan Sariburaja. Tuan Sariburaja memperanakkan Raja Lontung. Si Raja Lontung inilah yang menjadi ayahnya Sinaga. Si Raja Lontung memiliki sembilan anak yang terdiri dari 7 laki-laki dan 2 perempuan boru. Mereka antara lain Toga Sinaga, Tuan Situmorang, Toga Pandiangan, Toga Nainggolan, Toga Simatupang, Toga Aritonang, Toga Siregar, Siboru Amak Pandan, dan Siboru Panggabean. Menurut Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, keturunan Lontung kebanyakan tinggal di Samosir. Keturunan Lontung kemudian menyebar memenuhi Tanah Batak. “Hampir di seluruh Tanah Batak terdapat keturunan Lontung, bermarga Sinaga,” tulis Tambunan. Dalam beberapa buku tarombo silsilah, sebagaimana dicatat antropolog Richard Sinaga dalam Silsilah Marga-Marga Batak, ada yang menempatkan Situmorang sebagai keturunan Lontung yang pertama sedangkan Sinaga pada urutan kedua. Menurut cerita orang tua turun-temurun, anak sulung Si Raja Lontung adalah Sinaga dan anak kedua Situmorang. Setelah dewasa, Situmorang lebih dulu kawin dengan Boru Limbong sementara adik Boru Limbong ini diperistri oleh Sinaga. “Karena itu Situmorang lazim disebut haha ni parrajaon menjadi abang karena istrinya kakak dari istri Sinaga dan Sinaga disebut haha ni partubu abang karena lebih dahulu lahir,” tulis Richard Sinaga. Sinaga mempunyai 3 anak laki-laki antara lain Raja Bonor, Raja Ratus, dan Raja Uruk. Masing-masing dari mereka mempunyai tiga anak laki-laki. Raja Bonor yang kemudian disebut Sinaga Bonor memperanakkan Raja Pande, Tiang Ditonga, dan Suhutnihuta. Si Raja Ratus yang kemudian disebut Sinaga Ratus memperanakkan Ratus Nagodang, Si Tinggi, dan Si Ongko. Raja Uruk yang kemudian disebut Sinaga Uruk memperanakan Sihatahutan, Barita Raja, dan Datu Hurung. Dalam Toba Na Sae Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, budayawan Sitor Situmorang mencatat persaingan antara marga Sinaga dan Situmorang pada masa Si Singamangaraja XII. Salah satu keturunan Sinaga bernama Ompu Palti Raja –menurut Belanda– adalah musuh bebuyutan Sisingamangaraja. Pada masa penyerangan Belanda, Ompu Paltiraja bersikap netral bahkan bermusuhan dengan Sisingamangaraja. Menurut Sitor, meski sama-sama keturunan Lontung, Situmorang dan Sinaga memainkan peran kultural dan politik yang berbeda. Marga Situmorang disebutkan sebagai bride giver karena Sisingmanagaraja selalu beristrikan boru Situmorang. Sementara Sinaga disebut oleh Sitor sebagai bride taker bagi dinasti Sisingamangaraja. “Dari silsilah diketahui bahwa relasi antara kedua marga kakak-beradik dalam lingkungan Lontung itu ditandai persaingan intern, yaitu perebutan hegemoni dalam organisasi parbaringin agama Batak di semua bius Lontung,” tulis Sitor. Selain itu, diterangkan Sitor antara marga Sinaga dan Situmorang kerap bersaing mengenai siapa yang berhak menjadi Pandita Bolon pendeta utama yang mempimpin organisasi parbaringin dalam bius paguyuban meliputi wilayah tertentu mereka. Sampai saat ini semua keturunan Toga Sinaga masih tetap satu marga yaitu marga Sinaga. Lain halnya dengan saudara-saudaranya yang enam, telah berkembang menjadi beberapa marga. Semua keturunan Toga Sinaga terhimpun dalam satu ikatan yang diberi nama Parsadaan Pomparan Toga Sinaga dohot Boruna PPTSB. Persatuan ini ada di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan tingkat nasional. Pada 1966 PPTSB membangun tugu Toga Sinaga di Desa Urat, Samosir dan diresmikan pada Juni 1970. Di tanah air, beberapa tokoh bermarga Sinaga tercatat sebagai tokoh publik. Mereka antara lain Anicetus Bongsu Antonius Sinaga uskup agung, Saktiawan dan Ferdinand Sinaga pesepakbola, Restu dan Gita Sinaga artis peran, Indra Sinaga vokalis band Lyla, Narova Morina Sinaga vokalis band Geisha, Dolorosa Sinaga perupa, dan yang lainnya. 1 "Ingkon sude marga Sihombing Lumbantoruan dohononna Tulang, jala hormatanna" (Semua marga Sihombing Lumbantoruan harus menjadi Tulang dan dihormati oleh semua keturunan Tambun Mulia br Lumbantoruan). Konsekuensi dari pesan (Tona) ini, semua boru Situmorang Lumbannahor keturuanan Tambun Mulia tidak berkenan disunting oleh laki-laki Marga Sihombing Lumbantoruan. MEDAN – Karo merupakan salah satu suku yang ada di Sumatera Utara Sumut. Karo juga merupakan salah satu kabupaten yang ada di Sumut yang terletak di dataran tinggi. Kabupaten Karo ini memiliki keindahan alam dengan nuansa pegunungan dengan udara yang sejuk dan memproduksi buah dan sayur yang segar. Sebagian besar penduduk asli dari Kabupaten Karo adalah Suku Karo atau Batak Karo yang tersebar di semua kecamatan di Karo. Baca juga SOSOK Averiana Barus, Pebisnis Fashion Etnik Karo, Memilih Jalan Hidup yang Menantang Suku ini juga menggunakan bahasa yang disebut Bahasa Karo dalam berkomunikasi sehari-hari selain Bahasa Indonesia. Suku Karo yang mempunyai lima marga merga yang sering disebut dengan “Merga Silima atau marga yang lima”. Kelima marga tersebut terbagi menjadi 82 cabang marga, dengan jumlah sub marga yang bervariasi antara 13 hingga 18. Dalam Adat Batak ini, suku yang membawa marga adalah pihak laki-laki dan orang yang memiliki marga sama tidak disenangi bila menikah. Hal ini dikarenakan yang semarga dianggap saudara sedarah atau kekerabatan paling dekat sehingga dilarang untuk menikah. Apabila terjadi pernikahan sama saja seperti menikah dengan saudara kandung sendiri. Baca juga Lirik Lagu Karo Teman Metua by Narta Siregar Berikut ulasan tentang Suku Karo yang terdiri dari lima marga, ada yang dilarang untuk menikah. 1. Marga Ginting Marga ginting termasuk dalam unit eksogami yang memiliki larangan dari adat istiadat untuk menikah antara anggota sesama marga nya. Eksogami yamng dimaksud adalah sebuah sistem perkawinanyang terjadi di luar kelompok suku tertentu, hal ini wajib di patuhi untuk seluruh marga ginting dalam menghormati tradisi adat batak yang telah di wariskan dari turun temurun. Terdapat beberapa sub marga seperti Ajartambun, babo, Beras, Cabap, Gurupatih, Garamata, Jandibata, Jawak, Manik, Munte, Pase, Seragih, Suka, Sugihen, Sinusinga, Tumangger. 2. Marga Karo Selain marga ginting, marga karo juga dilarang untuk menikah sesama anggota marga nya yang termasuk dalam unit eksogami ini. Apabila Tribuners melanggarnya , memiliki konsekuensi hukum adat yang sangat berat seperti perilaku pelanggatan yang sama tidak boleh diulangi lagi dengan generasi yang lain. Terdapat beberapa sub marga seperti Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Ketaren, Kemit, Jung, Purba, Sinulingga, Sinukaban, Sinubulan, Sinuraya, Sitepu, Sinuhaji, Surbakti, Samura, Sekali. 3. Marga Tarigan Dan marga tarigan juga termasuk dalam unit eksogami yang memiliki larangan untuk menikah dengan anggota sesama marga. Terdapat beberapa sub marga seperti Bondong, Gana-gana, Gersang, Gerneng, Jampang, Purba, Pekan, Sibero, Tua, Tegur, Tambak, Tambun, Silangit, Tendang. 4. Marga Perangin-angin Namun berbeda dengan marga perangin-angin yang dapat melakukan pernikahan sesama marga, karena antara sub marga tertentu dalam marga yang sama. Terdapat beberapa sub marga seperti Bangun, Keliat, Kacinambun, Namohaji, Nano, Menjerang, Uwir, Pinem, pancawan, Panggarun, Ulun Jandi, laksa, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Sinurat, Sebayang dan Tanjung. Baca juga Chord Gitar dan Lirik Lagu Karo Sayang Kel Aku Karya Ersada Sembiring 5. Marga Sembiring Marga perangin-angin sama seperti marga sembiring, diperbolehkan untuk melakukan pernikahan sesama marga, karena antara cabang marga tertentu dalam marga yang sama. Terdapat beberapa sub marga seperti Berahmana, Busuk, Depari, Colia, Keloko, Kembaren, Muham, Meliala, Maha, Bunuaji, Gurukinayan, Pandia, Keling, Pelawi, Pandebayang, Sinukapur, Sinulaki, Sinupayung, dan Tekang. cr16/ Selainbermarga sama berikut beberapa list marga - marga yang tidak diperbolehkan menikah dalam aturan suku Batak. Purba dan Lumbanbatu Pasaribu dan Damanik Tampubolon dan Sitompul Tampubolon dan Silalahi Nainggolan dan Siregar Sihotang dan Toga Marbun Simanungkalit dan Banjarnahor Simamora Debataraja dan Lumbangaol Simamora Debataraja dan Manurung Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. "Jolo tiniptip sanggar, laho bahen huruhuruan; Jolo sinungkun marga, asa binoto partuturon." Artinya "Batang pimping dipotong, untuk membuat sangkar burung; Tanyakan dulu marga, agar tahu kekerabatan."Itu etikanya kalau seorang pemuda Batak naksir pada seorang pemudi Batak yang belum dikenalnya. Entah itu di bus umum, kapal danau, pasar, gereja, pentas seni, pesta muda-mudi atau pesta menanyakan marga itu untuk memastikan keduanya tidak semarga. Atau mereka bukan dari dua marga yang menurut padan, perjanjian adat, tidak boleh saling menikah. Jika keduanya semarga, maka lupakan saja rasa cinta. Keduanya secara adat dianggap namariboto, saudara dan saudari sedarah. Pernikahan antara keduanya dianggap kawin sumbang yang dilarang dan terlarang. Atau jika keduanya, walau beda marga, berasal dari satu rumpun yang secara adat terlarang menikah, maka lupakan jugalah rasa cinta. Larangan seperti ini, berdasar padan, berlaku misalnya pada rumpun marga Parsadaan Naiambaton Parna, mencakup marga-marga Simbolon, Tamba, Saragi, dan Munte serta cabang-cabangnya, sekitar 80-an marga. Jadi, pernikahan Simbolon dan Saragi misalnya dianggap kawin sumbang, sehingga dilarang dan kritisnya, mengapa pernikahan semarga terlarang dalam masyarakat Batak Toba, walau secara biologis sebenarnya tidak ada lagi hubungan darah. Misalnya antara pemuda dan pemudi yang sudah terpisah ke samping sampai belasan sundut, generasi. ***Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu harus dipahami struktur masyarakat adat masyarakat adat Batak adalah struktus genealogis yang disebut Dalihan Natolu, Tungku Kaki-Tiga. Struktur itu tegak oleh tiga kelompok status utama yaitu hulahula, dongan tubu, dan kelompok tersebut terikat oleh hubungan sosial adat yang bersifat tegas, tidak dapat dipertukarkan. Hulahula adalah pihak marga pengambilan isteri. Boru adalah pihak marga penerima isteri. Sedangkan dongan tubu adalah kerabat sedarah atau semarga dari hulahula dan boru. 1 2 3 4 Lihat Sosbud Selengkapnya 0xhKqj.
  • lv5c8vxjjq.pages.dev/77
  • lv5c8vxjjq.pages.dev/91
  • lv5c8vxjjq.pages.dev/131
  • lv5c8vxjjq.pages.dev/376
  • lv5c8vxjjq.pages.dev/151
  • lv5c8vxjjq.pages.dev/115
  • lv5c8vxjjq.pages.dev/284
  • lv5c8vxjjq.pages.dev/120
  • marga sinaga tidak boleh menikah dengan marga